Neo Liberal

|


Sejarah Neo-Liberal bisa dirunut jauh ke masa-masa tahun 1930-an. Kala itu adalah masa kejayaan Keynesianisme, sebuah aliran ilmu ekonomi oleh John Maynard Keynes. Dalam bukunya yang terkenal di tahun 1926 berjudul “The End of Laissez-Faire”, Keynes menyatakan ketidakpercayaannya terhadap kepentingan individual yang selalu tidak sejalan dengan kepentingan umum. Katanya, “Sama sekali tidak akurat untuk menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip ekonomi politik, bahwa kepentingan perorangan yang paling pintar sekalipun akan selalu bersesuaian dengan kepentingan umum”.

Keynesian dianggap berjasa dalam memecahkan masalah depresi ekonomi besar tahun 1929-1930, terutama setelah diadopsi oleh Presiden Roosevelt dengan program "New-Deal" maupun Marshall Plan untuk membangun kembali Eropa setelah Perang Dunia ke-II, maka Keynesian resmi menjadi mainstream ekonomi.

Dasar pokok dari ajaran Keynes adalah kepercayaannya pada intervensi negara ke dalam kehidupan ekonomi. Menurutnya, kebijakan ekonomi haruslah mengikis pengangguran sehingga tercipta tenaga kerja penuh (full employment) serta adanya pemerataan yang lebih besar. Keynesianisme masih tetap menjadi dominant economy sampai tahun 1970-an. Bahkan Bank Dunia dan IMF kala itu terkenal sebagai si kembar Keynesianis, karena mempraktekkan semua resep Keynesian.

Pandangan Neo-Liberal dapat diamati dari pikiran Hayek. Bukunya yang terkenal adalah "The Road to Serfdom" (Jalan ke Perbudakan) yang menyerang keras Keynes. Friedrich von Hayek (1899-1992) yang bisa disebut sebagai Bapak Neo-Liberal, terkenal juga dengan julukan ultra-liberal. Hayek memiliki murid yang bernama Milton Friedman, pencetus monetarisme. Pandangan kaum neo-Liberal pada dasarnya tidak populer di masyarakat Barat. Mereka anti terhadap welfare state (negara kesejahteraan) dan mereka juga anti demokrasi.. Meskipun begitu mereka membangun basis di tiga universitas utama: London School of Economics (LSE), Universitas Chicago, dan Institut Universitaire de Hautes Etudes Internasionales (IUHEI) di Jenewa. Para ekonom kanan inilah yang kemudian setelah PD-II mendirikan lembaga pencetus neo-Liberal, yaitu Societe du Mont-Pelerin, Pertemuan mereka yang pertama di bulan April 1947 dihadiri oleh 36 orang dan didanai oleh bankir-bankir Swiss. Hayek dan kawan-kawan sudah merasa gelisah dengan perkembangan paham Keynes ini.

Neo-liberal menginginkan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad-19, di mana kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah. Mekanisme pasar akan diatur oleh persepsi individu dan pengetahuan para individu akan dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial. Menurut mereka, pengetahuan para individu untuk memecahkan persoalan masyarakat tidak perlu ditransmisikan melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dalam arti ini maka Neo-liberal juga tidak percaya pada Serikat Buruh atau organisasi masyarakat lainnya.

Secara politis, Neo-liberal berpihak pada politik otoriter. Ini ditunjukkan oleh Hayek ketika mengomentari rejim Pinochet di Chili, "Seorang diktator dapat saja berkuasa secara liberal, sama seperti mungkinnya demokrasi berkuasa tanpa liberalisme. Preferensi personal saya adalah memilih sebuah kediktatoran liberal ketimbang memilih pemerintahan demokratis yang tidak punya liberalisme".

Menurut faham neo-Liberal, demokrasi politik adalah sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam melakukan pilihan dalam transaksi pasar, bukan sistem politik yang menjamin aspirasi yang pluralistik serta partisipasi luas anggota masyarakat. William Niskanen, salah seorang pentolan neo-Liberal menyatakan bahwa suatu pemerintah yang terlampau banyak mengutamakan kepentingan rakyat banyak adalah pemerintah yang tidak diinginkan dan tidak akan stabil. Bila terjadi konflik antara demokrasi dengan pengembangan usaha yang kapitalistis, maka mereka memilih untuk mengorbankan demokrasi.

Salah satu benteng neo-liberal adalah Universitas Chicago, di mana Hayek dan Friedman mengajar di universitas tersebut sehingga mereka juga terkenal sebagai "Chicago School"."The Counter Revolution in Monetary Theory", telah dapat menyingkap hukum moneter dan Friedman percaya pada freedom of choice (kebebasan memilih) individual yang ekstrim. Neo-Liberal tidak mempersoalkan adanya ketimpangan distribusi pendapatan di dalam masyarakat. Pertumbuhan konglomerasi dan bentuk-bentuk unit usaha besar lainnya semata-mata dianggap sebagai manifestasi dari kegiatan individu atas dasar kebebasan memilih dan persaingan bebas. Dampak sosial yang ditimbulkan oleh kekuasaan ekonomi pada kelompok kuat tidak dipersoalkan oleh neo-Liberal sebab demokrasi ekonomi tidak ada di dalam agenda kaum neo-Liberal. Friedman melalui bukunya yang berjudul

Kaum neo-Liberal menyebarluaskan fahamnya dengan cara membangun kader-kader ideologis yang luar biasa efisiennya melalui semboyan yang dikutip dari pemikir marxis Itali Antonio Gramsci “ Bila kamu dapat menguasai kepala orang, maka hati dan tangan mereka akan ikut”. Salah seorang yang menjadi ujung tombaknya adalah Anthony Fisher, seorang pengusaha sukses yang kemudian mendirikan Institute of Economic Affairs (IEA) pada tahun 1955 dengan bantuan dana dari kaum indutrialis lainnya. Tujuan lembaga ini adalah “menyebarkan pemikiran ekonomi yang kuat di berbagai universitas dan berbagai lembaga pendidikan mapan lainnya”. IEA inilah yang kemudian memberi pengaruh besar kepada Margaret Thatcher, seperti dikatakan Milton Friedman, “Tanpa adanya IEA, maka saya meragukan akan bisa terjadi revolusi Thatcherite”. IEA kemudian melahirkan Adam Smith Institute (ASI) di tahun 1976.

Para ekonom neo-Liberal di tahun 1970-an berhasil menembus dominasi ilmu ekonomi. Di tahun 1974, Hayek dianugerahi Nobel Ekonomi. Sesudahnya Friedman mendapat Nobel Ekonomi di tahun 1976. Juga Maurice Allais, seorang anggota Mont-Pelerin Society, mendapat Nobel Ekonomi di tahun 1988. Sejak tahun 1970-an, neo-Liberal mulai berkibar. Sejak itu pulalah seluruh paradigma ekonomi secara perlahan masuk ke dalam cara berpikir neo-Liberal, termasuk ke dalam badan-badan multilateral, Bank Dunia, IMF dan GATT (kemudian menjadi WTO).

Margaret Thatcher menjadi pengikut Hayek, doktrin pokok dari Thatcher adalah paham kompetisi yaitu kompetisi di antara negara, wilayah, perusahaan-perusahaan, dan tentunya di antara individu. Menurut Teacher, kompetisi adalah keutamaan, karena itu kompetisi dalam pasar bebas merupakan sesuatu yang pasti baik dan bijaksana. Kata thatcher, “Adalah tugas kita untuk terus mempercayai ketidak merataan, dan melihat bahwa bakat dan kemampuan diberikan jalan keluar dan ekspresi bagi kemanfaatan kita bersama”. Artinya, tidak perlu khawatir ada yang tertinggal dalam persaingan kompetitif, karena ketidaksamaan adalah sesuatu yang alamiah. Hal ini berarti yang terhebat, terpandai, terkuat akan memberi manfaat pada semua orang. Hasilnya, di Inggeris sebelum Thatcher, satu dari sepuluh orang dianggap hidup di bawah kemiskinan. Kini, satu dari empat orang dianggap miskin; dan satu anak dari tiga anak dianggap miskin. Thatcher sebenarnya adalah seorang social-darwinist, sampai akhirnya ia menemukan buku Hayek, dan kemudian menjadi salah satu pengikutnya.

Sementara itu, murid dari Friedman adalah Ronald Reagan, yang melahirkan Reagenomics. Inilah yang menghantar neo-Liberal menjadi ekonomi mainstream di tahun 1980-an lewat Thatcherism dan Reaganomics.

Sejak 1980-an pula, bersamaan dengan krisis hutang Dunia Ketiga, maka paham neo-Liberal menjadi paham kebijakan badan-badan dunia multilateral Bank Dunia, IMF dan WTO. Tiga poin dasar neo-Liberal dalam multilateral ini adalah: pasar bebas dalam barang dan jasa; perputaran modal yang bebas; dan kebebasan investasi. Sejak itu Kredo neo-Liberal telah memenuhi pola pikir para ekonom di negara-negara tersebut. Kini para ekonom selalu memakai pikiran yang standard dari neo-Liberal, yaitu deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya.

Poin-poin pokok neo-Liberal dapat disarikan sebagai berikut:

1. Aturan Pasar.

Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.

2. Memotong pengeluaran public untuk pelayanan social.

Ini seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’ untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.

3. Deregulasi.

Mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan pengusaha.

4. Privatisasi.

Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik membayar lebih banyak.

5. Menghapus konsep barang-barang public ( public goods ) atau komunitas.

Menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, yaitu menekan rakyat miskin untuk mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.

Pada masa sekarang ini faham neo-Liberal semakin meluas dan mengarah pada globalisasi .Globalisasi versi neo-liberal mengandung dua ciri utama, yaitu :

1. Multilateralisme

yaitu kekuasaan badan-badan antar pemerintah yang telah menjadi kepanjangan tangan ekspansi global kapitalisme, yaitu tiga bersaudara (triumvirat) Bank Dunia-IMF-WTO. Multilateralisme juga berarti koherensi atau kerjasama erat di antara Bank Dunia-IMF-WTO dalam operasi-operasinya, khususnya dengan menggunakan cross-conditionalities (prasyarat bersilang) kepada negara-negara Dunia Ketiga. Akan tetapi perlu diingat bahwa di balik badan-badan ini, dikuasai sepenuhnya oleh kepentingan negara-negara maju, khususnya hegemoni AS dan negara-negara G-7 (AS, Kanada, Inggeris, Perancis, Jerman, Jepang, Italia).

2. Transnasionalisasi

yaitu menguatnya monopoli dan konsentrasi modal serta kekuasaan ekonomi kepada korporasi-korporasi besar dunia. Semua mekanisme kapitalisme global berujung pada keuntungan di pihak TNC (Trans-National Corporation). Globalisme dan multilateralisme adalah sistem dan mekanisme guna menempatkan TNC pada kedudukan utama. Ini memudahkan TNC untuk melakukan eksansi ke berbagai negara dengan mendapat berbagai kemudahan, seperti tarif bea masuk yang rendah atau malahan nol persen; kemudahan investasi lewat penanaman modal asing 100%; penguasaan dan monopoli HAKI sehingga teknologi terus menerus dikuasai mereka; kemudahan untuk menguasai dan memonopoli berbagai sektor usaha di berbagai negara, bahkan yang bersifat barang publik (public goods). Hal ini semua yang diatur oleh WTO, IMF dan Bank Dunia. Semua kemudahan tersebut dan penghapusan atas berbagai hambatan usaha di suatu negara, akan semakin memperbesar TNC dan membuatnya sebagai penguasa dunia yang sebenarnya.

Liberalisasi ekonomi pada dasarnya mengukuhkan struktur konglomerasi yang mampu menguasai berbagai sektor ekonomi dari hulu sampai hilir di tangan segelintir kelompok pengusaha.

Kapitalisme dapat bersesuaian dengan otoriterisme, dan malahan merupakan pilihan terbaik, sebagaimana resep kaum neo-Liberal. Karena itulah Indonesia selalu mendapat puja-puji dari para pejabat Bank Dunia dan IMF. Indonesia dianggap sebagai contoh keberhasilan, sebagai “good-boy”, dinaikkan derajadnya menjadi kelompok negara berpenghasilan menengah-bawah, dan digolongkan sebagai NICs (New Industrialized Country) baru, sebagai ‘Macan Asia’ bersama-sama Thailand, Malaysia dan Filipina. Bahkan laporan Bank Dunia di awal tahun 1997, masih memuja-muji ekonomi Indonesia dan menyatakannya sebagai contoh yang paling baik dengan fundamental ekonomi yang bagus pula.

Mekanisme globalisasi yang juga merupakan bentuk kolonialisme baru adalah utang. Utang pada dasarnya bukanlah sebuah kedermawanan atau bantuan negara maju kepada negara berkembang. Kebalikannya, utang merupakan bagian utama dari kolonialisme baru. Semenjak 1950-an, sudah disadari bahwa utang merupakan instrumen bagi pendiktean kepentingan negara-negara Barat kepada negara kiskin peminjamnya. Meskipun dalihnya adalah bunga lunak yang meringankan, kenyataannya nilai politisnya jauh lebih besar. Jadi nilai dominasi negara maju untuk mendikte apa yang boleh dan apa yang tidak, atau kebijakan apa yang baik dan apa yang buruk bagi mereka, merupakan dasar dari strategi pembangunan yang salah kaprah. Utang merupakan alat ampuh hegemoni negara Barat atas klien-kliennya, sehingga posisi negara-negara miskin tersebut ada di bawah (disubordinasi). Utang telah memainkan peran yang luar biasa dalam menjaga suatu negara tunduk pada orbit kapitalisme Barat.

Utang oleh negara juga menguntungkan, karena tingkat pengembaliannya lebih pasti ketimbang utang komersial, karena dijamin negara. Negara pasti membayar. Utang adalah bisnis yang stabil. Dan makin lama jangka waktu peminjamannya, maka semakin menguntungkan, karena berarti pokok dan bunganya akan berlipat-lipat dalam jangka waktu lama.

Utang adalah in-natura (barang) dan mengikat (tied-aid) dalam arti penggunaannya harus sesuai dengan kepentingan si pemberi pinjaman. Ini berarti supplier-nya harus dari negara pemberi utang, barang-barangnya juga sama, harus dibeli dari negeri si pemberi utang. Begitu pula dengan konsultan-konsultannya, harus dari mereka juga. Jadi utang pada dasarnya memberi penghidupan kepada mereka sendiri. Yang disebut sebagai bantuan atau grant jumlahnya sangat kecil, dan hanya dipakai sebagai “pancingan” atau gula-gula pemikat untuk proyek utang yang lebih besar. Grant juga dipakai untuk memastikan bahwa si penghutang betul-betul akan membayar utangnya. Utang juga tutup mata mengenai korupsi, yang penting “business must go on”. Jadi pada dasarnya korupsi direstui, karena mereka terus saja mengucurkan utang, meskipun tahu bahwa setiap tahun uang pinjaman tersebut bocor. Utang dengan demikian adalah sebuah bisnis kotor, dan juga kepanjangan bagi kolonialisme baru.

Didik Widiawan Sukmadi

SMA Negeri 2 Solo
Jawa Tengah

1 komentar:

abhaytabachnick mengatakan...

casino - DRMCD
Casino. No 광양 출장샵 information is available for this page.Learn why · Play now · 여주 출장샵 Sign up with us · Log in. 영천 출장안마 Play · Log in. 고양 출장안마 Play Now 구미 출장샵 · Log out.

Posting Komentar